demi buku

f 7, 2009

Saya merasa beruntung terlahir dalam keluarga yang mencintai buku. Koleksi keluarga kami tak banyak, karena itu kami belajar bagaimana memperlakukan dan memberi makna kepada buku-buku yang ada. Dalam hidup saya yang mung mampir ngombe ini saya berjanji pada diri sendiri: sebelum saya meninggalkan mayapada ini saya akan menulis paling tidak sebuah buku.

Keluarga besar saya dari garis ayah dan ibu hingga tiga keturunan adalah pendidik. Istri saya memiliki lisensi untuk mengajar. Hanya saya saja yang menyempal, tidak beraktivitas dalam dunia pendidikan. Meski demikian dalam hati saya suka mengabarkan sesuatu kepada orang-orang. Bila mereka mendapat sesuatu, saya kira dalam spketrum yang luas saya juga telah menjadi seorang pendidik.

Sejak kecil saya telah bersentuhan dengan buku. Di rumah kami memiliki rak buku, satu bentuk furnitur tak lazim di kota kecil kami. Isinya tak banyak, sebagian besar terdiri dari buku-buku teks milik ibu saya. Kami hidup sangat sederhana, tak ada agenda secara khusus membeli buku. Kami juga gemar membaca koran, namun tak berlangganan—hingga kini. Biasanya dalam seminggu, dua atau tiga kali ayah membeli Lampung Post, koran lokal terbesar di Lampung. Bila sedang keluar kota, oleh-oleh yang selalu kami nanti di samping rupa-rupa lain adalah koran. Biasanya koran nasional: Kompas atau Media Indonesia. Tak jarang ayah membeli majalah-majalah bekas yang banyak dijual di terminal. Tak sabar kami menguliti bacaan yang ada. Tak ada berita basi bagi kami. Setidaknya lebih baik mengetahui terlambat ketimbang tak tahu sama sekali.

Referensi ilmiah di kota kecamatan kami sangat terbatas. Perpustakaan tak ada. Organisasi-organisasi massa saat itu hanya papan nama. Tak ada kegiatan intelektual apapun yang terjadi. Menginjak Sekolah Menengah Pertama saya mulai berkenalan dengan perpusatakaan sekolah. Buku-bukunya banyak, namun hampir seluruhnya buku pelajaran. Beberapa novel-novel terbitan Balai Pustaka—ada beberapa yang membekas di benak saya, karena hanya itu buku satu-satunya yang bermutu. Saya berjanji akan menceritakannya tersendiri nanti. Untuk pengayaan judul koleksi, petugas perpustakaan memborong Majalah Anita, Hai dan Bobo bekas. Saya tak tahu mengapa yang dibeli majalah populer, bukan buku.

Memasuki Sekolah Menengah Umum, saya beruntung memiliki perpusatakaan yang lebih lengkap. Namun lagi-lagi, hampir dua pertiganya berisi buku teks. Tak ada ruang bagi saya—dan kami—untuk memperkaya batin dengan bacaan-bacaan lain. Saya mulai berlatih menulis cerita pendek saat itu. Saya menyesal mengapa sekolah kami tak berlangganan Horison. Di perpustakaan hanya ada 2 edisi Horison selama saya menuntut ilmu di sekolah itu. Majalah ini saya pinjam berkali-kali. Saya mencoba mengirimkan cerita pendek. Tak saya sangka, cerita pendek pertama saya dimuat setelah tiga tahun karir kepenulisan saya di… Horison. Bukan, bukan pencapaian hebat, karena cerita pendek saya dimuat di rubrik Kakilangit, ruang khusus pelajar yang antara lain diasuh Taufiq Ismail dan Agus R. Sardjono.

Saat kuliah, saya memasuki dunia cakrawala yang tak habis-habis direguk. Perpustakaan fakultas dan universitas memiliki banyak judul buku. Tak banyak buku baru memang, namun bila kita membaca seperempat koleksi buku perpustakaan yang ada, saya kira kita telah memiliki kualifikasi keilmuan yang cukup mapan. Tak ada ilmu yang sia-sia. Banyak kawan-kawan mengeluhkan koleksi perpustakaan yang dianggap ketinggalan. Namun ‘yang ketinggalan’ ini pun ternyata tak mereka baca juga. Saya selalu menyimpan wasiat A’a Gym dalam hati: jangan sibuk mencari yang tak ada. Berbuatlah sesuatu—yang kecil; mulai saat ini; mulai dari diri sendiri—dari yang ada. Atau teman-teman dari sebuah partai politik yang kaderisasinya terbangun baik: daripada mengutuki kegelapan, lebih baik menyalakan sebuah lilin.

Saat kuliah saya telah berjanji dalam hati: akan membeli rak buku dan mulai mengoleksi isinya. Saya membeli rak buku yang dijual murah di sekitar kampus—terbuat dari kayu kualitas apkiran. Saya memesan rak buku lebih besar, dua kali lipat dari rak buku yang biasa dijual. Saya telah merencanakan rak buku saya berisi buku (lebih) banyak. Uang saku saya rata-rata, seperti yang diperoleh teman-teman lain dari orang tuanya. Saya tak merokok, tak punya komputer, tak suka membeli baju—baju saya hanya beberapa. Kaos berkerah berwarna merah-hitam bahkan banyak saya pakai dalam setiap foto yang dibuat saat kuliah. ‘Penyakit’ keuangan saya adalah: suka makan enak. ‘Enak’ bukan berarti mahal. ‘Enak’ bagi saya berarti ‘unik’. Bila mengetahui ‘kuliner unik’ yang belum saya coba, saya selalu tergelitik untuk mencicipinya. Tapi kegemaran ini bukan untuk apa-apa, karena semuanya untuk saya kabarkan pula pada anda.

Uang saku yang ada dapat saya alokasikan untuk membeli buku, baik baru, bekas, maupun bajakan. Saya mulai membeli buku. Umumnya buku-buku sosial, politik, atau sejarah. Beberapa kali saya membeli buku di Social Agency dan Shopping Centre Jogja, Pusat Buku Bekas Gladag dan (m)Bu(ri) Sri(wedari) Solo. Saya sangat membatasi membeli buku-buku sastra. Kala itu saya berpikir buku-buku sastra masih sebagai ‘klangenan’. Saya merasa buku-buku sastra tidak terlalu terpakai saat kuliah, sebagai referensi. Meski demikian saya membaca banyak novel Pramoedya, Umar Kayam, Mangunwijaya, Ahmad Tohari, dan Linus Suryadi AG. Semuanya saya pinjam, baik dari teman maupun dari perpustakaan.

Impian saya mengoleksi buku tak selalu berjalan mulus. Beberapa peristiwa ‘menyakitkan’ terjadi. Satu waktu ada seorang kakak tingkat saya meminjam buku mengenai Gerakan Mahasiswa. Sejak awal kuliah saya memang ingin membangun ekspert; kepakaran di bidang ini. Kakak tingkat saya itu ketua organisasi mahasiswa tingkat Solo dan berlanjut di tingkat Jawa Tengah ingin membuat tugas akhir mengenai Gerakan Mahasiswa. Saya senang karena ada pula yang tertarik dengan tema ini. Saya kemudian meminjamkan buku-buku tentang Gerakan Mahasiswa saya. Ada 8 buku yang saya kumpulkan dari sana-sini. Beberapa saya baca berkali-kali. Seperti Politik dan Ideologi Mahasiswa Indonesia buku paling baik untuk mengetahu sejarah pers dan Gerakan Mahasiswa tahun 1966 karangan Francois Raillon, Angkatan 66: Sebuah Catatan Harian Mahasiswa memoar perjuangan Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia (KAMI) dari sudut pandang salah satu Ketua Presdiumnya, Yozar Anwar, Pius Lustrilanang Menolak Bungkam: Kesaksian Penculikan Rezim Orde Baru, yang mendebarkan dan ditulis F. Sihol Siagian serta, Lawan!: Jejak-Jejak Jalanan di Balik Kejatuhan Soeharto narasi memikat mengenai Gerakan Mahasiswa 1998 yang ditulis Hermawan Sulistyo.

Saya menyesal dan kecewa sekali, karena dari buku-buku kesayangan saya ini hanya 3 yang kembali pada saya. Tiga judul yang saya sebut diawal bahkan tidak kembali. Saya menyesal, karena buku-buku itu tak dicetak ulang lagi. Saya lebih menyesal lagi karena saat kakak tingkat saya mengembalikan seikit buku saya itu tanpa meminta maaf. Saya pun mendapatkannya setelah blusukan ke mana-mana. Saat kemudian saya menulis tugas akhir dengan tema yang sama, saya tetap menggunakan referensi yang saya pinjamkan itu… berdasarkan ingatan. Meski demikian saya dapat mempertanggungjawabkannya secara akademik, karena saya telah membaca buku-buku itu berkali-kali dan membuat resumenya.

Peristiwa kedua yang tak kalah ‘menyakitkan’ adalah ‘pengkhianatan akademik’ seorang sahabat (baik) saya. Saat itu kebiasaan bila meminjam buku sang pemilik mencacatkannya dalam buku agenda. Judul dan siapa peminjamnya. Saya pun melakukannya, meskipun tanpa saya tulis pun saya hapal siapa-siapa peminjam buku saya dan judulnya apa. Namun cara ini tak banyak membantu. Masih banyak teman-teman yang meminjam buku saya tak mau tahu kecintaan saya pada buku. Tak mau tahu bagaimana saya sampai pada cakrawala ilmu—setelah bertahun-tahun tinggal di daerah yang sepi dalam referensi. Saya harus emosial menulis fragmen ini.

Sahabat (baik) saya ini suatu waktu meminjam buku. Tiga buku mengenai teori politik. Beberapa saat sebelumnya saya mendengar dia mendekati seorang mahasiswi adik tingkat. Cara paling jamak memikat adik tingkat kala itu adalah mencitrakan diri sebagai kakak tingkat yang cerdas, pandai bergaul, atau menjadi aktivis organisasi. Jurus ini ternyata digunakan pula secara efektif oleh sahabat saya ini. Suatu hari ia meminjam buku kepada saya. Saya mengingat-ingat judulnya, namun sahabat saya ini secara meyakinkan menulis sendiri nama dan judul bukunya di buku agenda peminjam buku saya. Mengingat track record-nya dalam hal kepercayaan pinjam-meminjam sebenarnya saya sudah ragu. Tapi bagaimana lagi, saat itu dia mencari sendiri di kamar kos saya. Tiga buku telah dipinjamnya. Dua dibaca sendiri. Dan satu buku, Isme-isme Dewasa Ini diberikan kepada mahasiswi adik tingkat yang diincarnya. Saya kecewa sekali. Benar-benar kecewa. Sangat kecewa. Sahabat saya ini tak pernah mengklarifikasi dan meminta maaf pada saya. Saya pun tak menanyakan karena saya tahu dia memberikan buku itu pada dari cerita sang mahasiswi pada saya. Saya tak mengatakan yang sebenarnya kepada mahasiswi itu. Namun sejak saat itu saya tak pernah memercayai sahabat saya ini dalam urusan pinjam meminjam. Buku yang masih dibacanya saya ambil saja dari kos. Sahabat saya ini memiliki banyak buku pula, namun tak setelaten saya. Saya kecewa, dan saya embat dua bukunya, ha-ha-ha. Setelah saya baca, ternyata satu buku tertulis nama pacarnya yang baru putus—sebelum dia mendekati mahasiswi adik tingkatnya itu. Saya bergumam dalam hati: dasar gawan bayi. Koleksi di rak bukunya patut dipertanyakan ke-halalan thoyiban-nya. (Saat sahabat saya ini semakin aktif di organisasi mahasiswa tingkat regional, yang saya tahu rak bukunya sudah ‘bubar’ tak terurus. Setidaknya dua bukunya saya bantu simpan di rak buku saya hingga kini….).

Pengalaman ketiga, tak kalah menyakitkan. Seorang adik tingkat dari fakultas ekonomi meminjam 6 buku kepada saya. Dua diantaranya berjudul Sesat Pikir Teori Pembangunan, buku pegangan aktivis kalau mau ngomong ekonomi pembangunan yang ditulis Mansour Fakih, dan Zaman Peralihan, kumpulan artikel Soe Hok Gie. Buku pertama saya beli saat saya mendapat beasiswa Supersemar. Beasiswa yang besarnya satu setengah kali uang saku saya belikan buku semua di Jogja. Buku kedua saya peroleh dengan mengganti uang pembeliannya dari kakak kos saya, seorang mahasiswa teknik yang ‘dipaksa’ seniornya membeli saat opspek. Dia tak peduli dengan buku itu karena ia mahasiswa eksakta. Seperti cerita yang sudah-sudah, semua buku ini tak kembali. Saya tak usah menuliskan kekecewaan saya, karena hanya menambah sakit hati saja….

Sesaat setelah menikah setahun lalu, saya dan istri tinggal di kontrakan—hingga kini. Kami belum punya banyak perabot, hanya ada dua lemari baju, kompor gas, dan televisi. Saya bertanya pada istri, perabot apa yang mendesak kami miliki. Istri melirik beberapa kardus buku-bukunya dan sejumlah buku saya yang tak muat di rak buku. Dengan meyakinkan istri saya menjawab: rak buku. Kami kemudian memesan rak buku dari kayu jati. Saya membayarnya dengan satu kali pendapatan saya satu bulan dan honorarium artikel yang dimuat Kompas Jateng. Saat kami pindah kontrakan yang lebih besar—baru seminggu lalu—barang-barang yang ada kami kemas. Sepertiga diantaranya berbentuk… buku.

Selain itu saya memiliki kenangan manis dari buku. Saat ini kebanyakan buku-buku saya adalah novel-novel Indonesia yang nyastra. Saya tak membeli buku-buku teori lagi, karena ‘tak terpakai’ dalam pekerjaan.  Sudah sejak lama saya ingin mengoleksi Tetralogi Pulau Buru yang dikarang kandidat nobel sastra kita: Pramoedya Ananta Toer. Saat kuliah saya berpikir untuk mengoleksi buku ini empat judul cukup mahal. Saat mulai bekerja, saya sudah ingin mulai mengoleksinya. Namun saya khawatir tak dapat mengoleksinya sekaligus empat judul. Saya berpikir kalau ingin membeli sekaligus empat judul saja. Bila mencicil satu persatu saya khawatir tak mempu membeli kesemuanya. Hanya membuat getun saja, batin saya dalam hati. Sampai akhirnya saya mendapatkan buku best seller Pramodeya ini sebagai…. hadiah pernikahan.

Saat saya menikah, ternyata rekan-rekan muda di kantor yang mengetahui kisah ini iuran membelikan buku Pram. Hanya tiga judul. Dan diberikan saat rapat redaksi Jurnal IdeA dimana saya menjadi redaktur bahasa. Saat itu hadir kepala kantor, yang biasanya tak ikut rapat redaksi. Hadiah ini mengharukan bagi saya. Sejumlah rekan membubuhkan tanda tangannya di sampul buku. Mata saya berkaca-kaca. Saya tak mampu berkata-kata. Namun saya dipaksa berbicara, dan saya mengatakan: setahu saya buku Pram ini tetralogi, yang artinya ada empat judul. Mengapa di kado ini hanya ada tiga, gugat saya. Rekan-rekan terbahak. Mereka bilang membeli secara online, dan hanya ada tiga judul. Tak lama setelah itu saya menitip kepada adik yang kebetulan ada di Jogja untuk mencari satu judul lagi itu. Beberapa saat sebelumnya saya cari di Semarang judul itu memang lagi kosong.

Dari pengalaman itu saya kemudian memantapkan dalam hati untuk memberi kado pada ulang tahun, penghargaan kenaikan kelas, atau pernikahan adik, sepupu atau sahabat saya dengan memberi buku. Buku yang saya bayangkan sesuai karakter orang yang akan saya beri buku. Anda dapat melakukannya bila sepakat.  Dua adik saya kini juga bercita-cita memiliki rak buku juga….

Menghargai dan memaknai buku ternyata tak berbanding lurus dengan perilaku dan penampilan sehari-hari. Ketika seorang meminjam buku, kita tak tahu bagaimana cara dia memperlakukan buku. Kita baru tahu bagaimana preferensi seorang memberi makna buku setelah ia mengembalikan buku itu. Kembali dengan tak sempurna, atau kita tak pernah memiliki buku itu lagi….

16 Tanggapan to “demi buku”

  1. palembang Says:

    hello.. salam kenal ya..
    aku indra..
    ku berasal dari palembang..
    aku senang banget membaca blog kamu..
    moga kita bisa menjadi teman ya

  2. masmpep Says:

    @palembang
    trims mas. hanya ingin berbagi hal-hal sederhana. sering-sering aja kemari.


  3. sungguh, ketika budaya literasi bangsa kita dinilai demikian rendah, menjadi sebuah kebanggaan kalau ada warga di negeri ini yang peduli pada dunia perbukuan. ilmu yang didapat dari aktivitas membaca akan terus terpatri dalam memori dan ini sebuah harta yang tak ternilai harganya. sayangnya, masih banyak orang di sekitar kita yang belum bisa menghargai makna sebuah buku. mereka bisa pinjam seenaknya tanpa mempunyai itikad baik utk mengembalikannya. padahal, bisa jadi utk cari buku sejenis bukan hal yang mudah. salut banget dg perjuangan masmpep yang tak pernah berhenti mengoleksi buku.

  4. haris Says:

    wekekek. mengharukan. untunglah di solo saya punya banyak kawan yang “gila buku”. sejak kenal mereka, sy jadi ikut2an gila. dulu sy selalu ragu membeli banyak buku. sedikit2 tapi cukup rutin. sekarang, kalo waktu ada pameran, saya akan berusaha memborong sebanyak2nya. bersaingdg Kabut yang koleksi bukunya ribuan, atau ridho yang juga hampir sama. he2.

  5. semuayanggurih Says:

    masmpep, liat tulisan di blog-ku deh. ada sedikit tips buat nambahi koleksi buku perpus dengan murah. sangat hemat, tanpa biaya yang mahal. sedikit repot memang, tapi daripada beli buku yang harganya bikin perut lapar, itu jauh lebih baik.

  6. masmpep Says:

    @sawali tuhusetya
    ya.ya. pecinta buku memang perlu diapresiasi. tapi industri perbukuan perlu didemo sekali-sekali pak. minat baca tinggi, daya beli masih rendah. buku masih barang mewah buat rakyat sekelas saya pak….

    @haris
    penyakit gila nomor lima puluh dua–meminjam andrea hirata–yang tak membahayakan kesehatan jiwa hanya gila buku mas.

    @semuayanggurih
    e book? boleh juga tu. murah, dan ‘bersahabat’–maksudnya dengan yang inisiatif menyediakan layanan tak berbayar itu.

    tapi baca file perih di mata. di fotokopi pedih dikantong, he-he-he.

  7. semuayanggurih Says:

    jangan dibaca, jangan difotokopi. cetaklah (print), jauh lebih murah, meskipun rada repot. lagian hasilnya juga bisa warna.
    pengen lebih hemat? pakailah fasilitas kantor: kertas kantor, printer kantor, komputer kantor, koneksi inet kantor, dan jilid buku ngutang pake akun kantor, huahahaha…

  8. bandunggeulis Says:

    Terima kasih karena sudah berkunjung ke “bandung geulis”, ini kunjungan balasan 🙂
    Sama, saya juga cinta buku, dulu dari buku saya mendapat pengetahuan, tapi sekarang ini mulai tergeser oleh media internet, mau cari apa2 tinggal browsing.

  9. RAH Says:

    biar harga buku jadi murah, gimana kalo kita bikin percetakan dan penerbitan aja,entar karya-karya kita n e book nya dictak n diterbitin aja.
    pak polisi, jangan mencurigai sebagai pembajakan lho!

  10. dwiki Says:

    Bung. Dengan nge-blog ini hakikatnya Bung juga seorang pendidik. Tepat sebagaimana yang dikemukakan di awal postingan.

    Ngomong-ngomong postingan soal buku, Bung mengingatkan saya pada sebuah buku, Politik dan Ideologi Mahasiswa Indonesia: Pembentukan dan Konsolidasi Orde Baru 1966—1974 karya Francois(Jakarta: LP3ES, 1985).

    Saya punya kisah soal buku itu, lantaran saat kuliah Semester III di Komunikasi Massa Fisip UNS pernah memenangkan Juara III Lomba Resensi Buku Tingkat Regional Jateng-DIY yang diadakan oleh Senat Mahasiswa Fisip UNS.

    Hadiah lomba tersebut, sebuah Piala hampir setinggi 75 Cm, Plakat, buku-buku terbitan LP3ES dan uang tunai senilai 2 kali bayar SPP.

    Soal itu nanti akan saya tulis memoar singkatnya di blog personalku http://dwikisetiyawan.wordpress.com.

    Kalau soal baca buku, saat sekolah di SD Ngolodono Karangdowo Klaten Jateng akhir 1970-an, bolehlah saya “membanggakan diri” sebagai juaranya. Lantaran buku-buku cerita dan sebagainya di perpustakaan saya lalap semua. Soal ini juga bisa jadi postingan tersendiri.

    Tentang pinjam-meminjam buku pada teman seperti Bung Febrie ungkap, sesungguhnya bagi seorang pencinta buku harus punya sikap tegas, “just say no”. Soalnya bisa dipastikan kalau buku sudah dipinjam teman –apalagi tanpa pencatatan pinjaman– berarti “ikhlas” untuk tidak kembali.

    Di samping buku, ada beberapa properti lain yang senada-seirama bila sudah dipinjamkan. Jaman saya kuliah, properti itu berupa kaset lagu. Sedangkan jaman sekarang bisa berwujud CD, VCD, Flasdisk, DVD dan lain-lain.

    Barang-barang itu seyogyanya jangan sekali-sekali dipinjamkan pada teman! Lebih banyak tidak kembalinya ketimbang kembali.

  11. Edi Psw Says:

    Kalau dipinjam nggak kembali kayak gini lama-lama bukunya habis nih.

  12. masmpep Says:

    @bandunggeulis
    internet memang menarik mas. saya sedang menyusun satu naskah (buku) mengenai etnografi lampung juga dari internet. namun mudah2an saya dituntun untuk tidak copy paste dan mengabaikan analisis….

    @RAH
    setuju. aku direktur penerbitannya. RAH penyandang dananya. semuayanggurih hackernya–yang mengunduh dari internet. pepak.

    @dwiki
    saya orangnya melankolis mas. gak tegaan. apalagi peminjam umumnya tampangya innocent. ah. tapi kadang2 wajah manis suka menipu. seperti sahabat-sahabat yang saya ceritakan itu….

    @edi psw
    kan ada mekanisme pembalasan mas: menyimpan buku sang peminjam juga. harus dua kali lebih banyak eksemplarnya, he-he-he.

  13. simoel Says:

    memang sebuah perjuangan untuk menulis dan membaca buku, makanya meskipun masmpep bentar lagi ngkut diklat pungsional perencanaan 2 bulan di Suroboyo, tapi jangan lupa tanggung jawabnya terus pantengin antene biar buletin nyambung terus yah….

  14. engkaudanaku Says:

    Assalamu’alaikum,

    Kunjungan balik, Masmpep….. 🙂

    Tak banyak cerita yang aku punya tentang buku, seperti halnya Masmpep berkisah, dalam suka dan duka bersama buku.
    Hanya sedikit yang masih ku ingat….semenjak kecil, buku-buku yang ada dirumah, tak luput dari lahapan mataku, buku apapun itu. Buku,teman setiaku dari dulu, saat ini, sampai nanti. Pasti!!!!!!.

    Salam semangat bersama buku!,

  15. simoel Says:

    miris hati saya ketika membaca seakan merasa begitu berarti sebuah buku, memang terharu sekali mas, seandainya aku punya buku entah buku apa akan keberikan buku itu ntuk mas mpep agar lebih bermanfaat, itung-itung niptip hwa.hhaa…haa…aman khan

  16. simoel Says:

    lebih dari itu saya suka banget tulisan mas mpep, ajari saya melek hurup ya mas biar suka baca…..lanjutkan!!!


Tinggalkan komentar