Napak Tilas Bandar Lampung

f 17, 2011

Memenuhi permintaan sahabat maya saya, Mas Hartono Rakiman, penulis best seller buku Mabuk Dolar di Kapal Pesiar: Kisah-Kisah Para Pemburu Dolar, tertulislah posting ini. Kesempatan singgah di Bandar Lampung sungguh langka bagi saya. Tempat tinggal orang tua saya masih jauh dari Bandar Lampung, sekira 5 jam perjalanan bus. Saya pun tak familier dengan ibukota Lampung yang dahulu nomenklaturnya Tanjung Karang-Teluk Betung ini. Saya hanya sempat bermukim di kota ini satu bulan, saat persiapan UMPTN hampir sepuluh tahun lewat. Meskipun saban tahun mudik ke Lampung, saya hanya boleh puas melintasi Jalan Soekarno-Hatta a.k.a by pass saja. Cuti mudik hanya seminggu atau paling lama sepuluh hari, cukup sayang untuk dihabiskan di Bandar Lampung tanpa agenda yang benar-benar penting. Mudik bagi saya adalah waktunya di rumah, saja, sedapatnya banyak-banyak bercerita dengan bapak dan ibu. Lain tidak.

Oleh sebab pernikahan sepupu di Pringsewu—tepatnya Pagelaran—saya harus, mau tidak mau, dan dengan senang hati, kembali menjejak Bandar Lampung. Karena kesempatan ini terbilang jarang tiba, saya mempersiapkan seefektif mungkin. Sengaja saya tak membawa istri dan puteri mungil kami, agar portable—sebagaimana kata saya kepada Bung Juperta Panji Utama. Saya pun memilih tidak bermalam di Pringsewu, di rumah bibi yang menikahkan puterinya, tetapi memilih bermalam di Bandar Lampung. Karena tak familier dengan kota ini, saya meminta rekomendasi bapak saya dan beliau memilihkan tempat di bilangan Lapangan Enggal. Lapangan Enggal seumpama alun-alun di tlatah Jawa. Lokasinya strategis, dilalui hampir semua trayek, dan masih bergeliat hingga malam. Ini yang penting, karena saya telah meniatkan untuk menghabiskan malam di Bandar Lampung secara backpacker.

Menyusuri Jalan Z.A. Pagar Alam dari Bus Damri trayek Terminal Rajabasa-Tanjung Karang membuat imajinasi saya membual. Saat bus yang sejuk melintasi Universitas Lampung, kemudian Museum Lampung yang dua kali saya kunjungi—petugasnya sempat heran karena saya datang seorang diri, tidak bersama rombongan study tour sebagaimana jamaknya. Masih berjajar kampus-kampus Universitas Mitra Lampung, Kampus Darmajaya, Perguruan Teknokra juga Universitas Bandar Lampung. Memasuki bilangan Pasar Koga di Kedaton membuat mata saya lebih awas lagi. Dahulu, sepuluh tahun lalu saya mukim hampir satu bulan di Jalan Landak. Bergiat menimba ilmu di salah satu lembaga bimbingan belajar. Berolah trik-trik menjawab soal UMPTN, dengan rumus-rumus praktis, jawaban tebakan—dengan sejumlah keyword tertentu. Pokokmen raih jawaban benar sebanyak-banyaknya, atur strategi passing grade jurusan yang diinginkan, tambahkan banyak doa, dan jangan lupa restu kedua orang tua. Saya kira model-model pembelajaran seperti ini perlu dimassifkan di semua level pendidikan. Belajar menjadi penuh tantangan, harap-harap cemas, mau-tak-mau-tak-ada-pilihan menjadi lebih religius, dan anehnya… lulus. Dengan model pembelajaran seperti ini pula akhirnya saya menggeluti Sosiologi. Salah ketik sedikit, antara Sosiologi menjadi Psikologi misalnya, sudah berbeda grade-nya. Begitu juga kalau mata lamur, salah tulis UNS menjadi UNY, sudah berbeda juga stratanya. Apalagi kalau menulis UGM, dihitung nekat namanya. Begitulah jurusan dan ilmu pengetahuan diklasifikasi, ditaksonomi oleh lembaga bimbingan belajar kita.

Di kawasan Koga saya masih mengingat tempat-tempat yang pernah saya singgahi. Martabak Bangka yang buka secara demonstratif di tepi jalan, juga Mie Ayam Koga—yang kabarnya terkenal itu. Sayang, keduanya dulu belum sempat benar-benar saya singgahi. Saya memegang teguh pesan bapak: sebagai anak kos harus prihatin. Falsafah prihatin menuju kesuksesan saya pegang betul, kala itu, karena tak ada pilihan lain selain uang saku yang cukup untuk makan layak, tetapi tidak Martabak Bangka apalagi segala Mie Ayam Koga.

Senja mulai turun. Bandar Lampung cerah sore itu. Setelah istirahat sebentar di tempat menginap, saya telah duduk kembali dalam bus Damri, yang akan mengantarkan saya menyusuri kembali trek Tanjung Karang-(Terminal) Rajabasa. Saya melintasi tempat-tempat yang menggetarkan bagi saya. Terminal Tanjung Karang di lantai dasar Ramayana, menengok Pasar Tengah yang berjejal pertokoan, Jalan Radin Intan tempat Gramedia yang saya idamkan untuk mengoleksi buku-buku bermutu, dulu. Masih ada Tugu Gajah, lalu Central Point, tidak ketinggalan Mal Kartini, dan tentu saja melirik Pasar Bambu Kuning dengan bangunan yang lebih segar kini dan Pasar Smep yang semakin doyong dari dalam bus. Kemudian Rumah Makan Padang—yang saya lupa namanya—di gang masuk dekat Hotel Ria (?).

Dahulu, karena referensi saya terbatas, saya beranggapan Bandar Lampung kota yang (sangat) besar. Maklumlah, saya tinggal lebih dari 5 jam perjalanan bus dari Bandar Lampung. Mengunjungi Bandar Lampung merupakan satu tindakan mewah—karena itu jarang terjadi—bagi saya kala belia. Kebeliaan saya membuat Bandar Lampung penuh imajinasi kota besar: kota besar macam Jakarta yang dibayangkan orang udik: rawan, hati-hatilah selalu, waspada sebab banyak orang tidak baik. Saat kemarin napak tilas kembali di Bandar Lampung, saya sedikit kecewa. Mungkin ekspektasi saya yang berlebih atas kota ini. Mungkin pula saya telah bersinggungan dengan kota-kota besar lain. Meski demikian saya masih menyimpan kenangan bahwa Bandar Lampung kota besar mula-mula yang membenam dalam memori saya. Soal imajinasi kanak-kanak atas ibukota terhapus saat saya menjejak kembali di Bandar Lampung. Kali ini saya bersyukur atas kesan ini, karena tak ada faedahnya mengira ibukota yang bukan-bukan, semacam lebih kejam dari ibu tiri.

Sore itu saya mengontak sahabat maya saya: Bung Arman AZ. Saya membaca ia aktif dalam Komunitas Berkat Yakin (Kober), yang identitasnya hampir selalu melekat pada penyair-penyair Kompas Minggu. Saya hendak singgah di Kober, menonton aktivitas teman-teman di sana kalau mungkin. Bung Arman AZ mengatakan (sebagian) teman-teman Kober sedang melatih teater di Universitas Bandar Lampung (UBL). Karena saya sedang dalam bus yang menuju ke kampus itu, saya putuskan untuk singgah di UBL, sembari menonton latihan teater. Saya tak paham teater, sesungguhnya saya juga tak paham kesenian. Namun menonton acara-acara kesenian tidak ada salahnya, dan saya percaya menonton acara kesenian dapat menaikkan kelas sosial kita, menjadi kelas menengah yang independen, terpelajar, dan syukur (dikira) banyak duitnya.

Di UBL, kampus yang tertata rapi dan mengesankan saya bertemu Alexander GB, salah satu awak Kober. Bung arman AZ sedang dalam perjalanan, sehingga kami tak sempat bertemu. Bung Alex saya tahu penulis cerpen, dan entah apa lagi. Saya pura-pura sok kenal dengan teman-teman Kober dan memberanikan diri menonton teman-teman UBL berlatih monolog. Bersama Bung Alex saya mengobrol banyak hal. Soal-soal konstelasi kesenian di Lampung. Soal Teater UBL ini menarik juga. UBL dikenal sebagai basis Gerakan Mahasiswa radikal di Lampung sejak tahun 1990-an yang berkontribusi menumbangkan rezim Orde Baru. Saya sedikit banyak mengikutinya secara akademik, karena saya meminati isu-isu Gerakan Mahasiswa. Menariknya, Gerakan Mahasiswa Lampung yang berbasis di UBL saat ini sedang mengembangkan teater sebagai alat gerakan. Mereka kerap melakukan happening art, dan meminta bimbingan teman-teman Kober untuk memperkaya aspek-aspek estetik pertunjukan mereka. Saya kira model menjadikan kesenian sebagai alat gerakan merupakan model yang mulai jarang dilakukan kini. Saya tahu panggung kebudayaan kita dahulu hiruk pikuk dengan perdebatan soal realisme sosial dan humanisme universal. Hari-hari belakangan saya kira Gerakan Mahasiswa sudah mulai melupakan kesenian, termasuk juga alam. Dahulu kita tahu, banyak aktivis mahasiswa sekaligus juga menjadi aktivis pencinta alam—tentu anda ingat Gie, Aristides Katoppo, Herman Lantang, bahkan Salahudin Wahid. Atau aktivis sekaligus sastrawan dan penulis yang tak terhitung jumlahnya. Kini aktivis mahasiswa kita umumnya demonstran, yang gagap menulis, tak suka lagi hiking apalagi berkesenian macam teater. Bahkan saya mendapati anak-anak Teater dan Mapala di satu kampus justru sering berseteru dengan anak-anak BEM dan Dema. Saya kira perlu diteliti bagaimana mungkin kedua entitas ini bisa bermusuhan kini sedang dahulu berada dalam irisan pada kuadran yang sama.

Petang menjelang. Saya berpamitan kepada teman-teman Kober—mereka akan melanjutkan latihan, kali ini atas nama Teater Kober di markas UKMBS Unila—sedang saya telah membuat janji bertemu Udo Z. Karzi salah satu redaktur media di Lampung. Hingga kini saya telah menulis hampir 35 artikel di medianya. Dengan modal 35 artikel itu saya memberanikan diri, sok kenal, mampir ke kantor medianya. Udo Z. Karzi terhitung penulis kawakan di Lampung. Menulis hampir semua jenis: syair, dan esai, entah kalau cerpen soalnya saya belum pernah membaca cerpen atas namanya. Sudah tentu Udo Z. Karzi dikenang karena anugerah Rancage Tahun 2008 untuk puisi berbahasa Lampung. Saya sempat membuat milis terbatas bertajuk etnografi_lampung@yahoogroups.com. Milis ini sempat aktif merumpikan serba-serbi terkait kebudayaan Lampung pada umumnya. Anggotanya terbatas, soalnya taktis saja, saya sebagai moderatornya gagap teknologi. Udo telah merekomendasikan banyak nama, yang dapat saya daftarkan dalam keanggotaan milis. Selebihnya, entah bagaimana ceritanya, saya tidak dapat menambah akun anggota baru. Kini milis itu tinggal artefak, karena saya sebagai moderator juga tak dapat bertanggungjawab meramaikannya dengan isu-isu kebudayaan Lampung yang sedang aktual. Beberapa waktu lalu juga, saya juga telah mengirimkan naskah novel saya. Saya mintakan komentar Udo agar naskah tersebut dapat menjadi lebih memikat lagi. Dengan referensi ini saya memberanikan diri mengontak Udo, membuat janji bertemu, dan Udo setuju.

Malam itu Udo menemui saya. Ia tampak lelah, katanya seharian berputar-putar kota untuk mewujudkan rencana penerbitan beberapa buku di penerbit yang dikelolanya. Kami bercerita banyak hal. Mula-mula, tentulah naskah novel saya. Saya mendapat tanggapan—hampir semua mengatakan—bahwa naskah saya tersebut masih mentah layaknya reportase atau esai yang difiksikan. Saya memang harus berlatih lebih giat menulis naskah tersebut secara lebih fiksi, dengan bumbu-bumbu yang lebih sedap lagi.

Obrolan kami kemudian melebar ke mana-mana. Belum sempat saya konfirmasi, Udo bercerita soal polemik sastra akhir-akhir ini. Soal dugaan plagiasi oleh seorang cerpenis asal Surabaya dan pernah pula dimuat salah satu media di Lampung. Saya katakan kepada Udo, mewakili pembaca sastra saya kira: bahwa kolom kecil yang berisi ‘pernyataan redaksi Kompas dan Horison mencabut cerpen yang pernah dimuat di medianya dan menyatakan cerpen tersebut tidak pernah ada—media di Lampung itu tidak melakukannya’ belum memuaskan kami, setidaknya saya. Bagaimana mungkin, cerpen yang jelas-jelas telah tercetak pada edisi sebelumnya, dinyatakan tidak ada. Sikap redaksi ini bagi saya tidak menyelesaikan masalah secara intelektual. Saya juga menilai reaksi dari banyak sastrawan (muda) juga cenderung tidak intelektual. Celoteh-celoteh di dunia maya sungguh jauh dari cita intelektual. Hanya beberapa sastrawan yang menulis secara serius—berbentuk esai—atas polemik ini, diantaranya sahabat maya saya Sungging Raga—yang terhitung pertama-tama mengangkatnya ke ruang publik, dan terutama Beni Setia, yang menulis secara santun dan memikat dalam esai di satu media di Lampung. Selebihnya celoteh yang tak konteks, menyerang pribadi, dan jauh dari peradaban sastra itu sendiri. Saya, karena baru bersinggungan dengan sastra satu-dua tahun terakhir ini, sebenarnya ingin menulis esai juga namun pengetahuan sastra saya masih terbatas, sehingga esai itu belum tertulis juga.

Saya—dan saya tahu juga beberapa teman menunggu—semacam esai, atau penjelasan yang lebih panjang lebar dari redaksi sehingga pada akhirnya redaksi mengambil putusan demikian. Saya katakan pula bila penulis kerap diminta bertanggungjawab atas penulisan naskahnya, saya kira redaksi juga memiliki pertanggungjawaban yang sama atas pemuatan naskah dari penulis. Udo tersenyum, seketika menghapus kekhawatiran saya bahwa Udo juga terbuka terhadap kritik dan tidak akan mem-black list tulisan saya di medianya karena pandangan-pandangan saya :). Ia kemudian menceritakan beberapa kebijakan redaksional di media tempatnya bekerja. Sikapnya soal polemik itu, esai tanggapan cerpenis yang dimuat medianya, juga menanggapi beberapa keluhan penulis terhadap media. Sebagai penulis Udo memahami bila penulis—macam saya—membutuhkan hubungan yang lebih personal dengan media. Selama ini hubungan penulis dan media bersifat impersonal. Hingga hari ini hanya satu media yang mau repot-repot mengembalikan naskah dan memberi konfirmasi penolakan pemuatan naskah, sehingga kemungkinan duplikasi pemuatan naskah—dan umumnya kesalahan ditimpakan pada penulis—dapat ditekan, dihindari, dan dijauhi bersama. Udo mengatakan sepakat dengan saya, namun apa daya, banyak media kita terhambat oleh sumber daya yang terbatas. Redaktur tidak mungkin melakukan relasi ini seorang diri. Sekretariat Redaksi telah memiliki kesibukan sendiri. Begitu juga soal honorarium—meskipun yang ini tak saya sampaikan pada Udo. Meskipun banyak penulis yang memilih laku penulis secara asketik, saya tahu banyak pula penulis yang membutuhkan honorarium—sebagai modal untuk berkarya selanjutnya: membeli buku, membayar koneksi internet, membeli laptop atau membayar rental mengetik dan semacam itu. Sepanjang karier kepenulisan saya yang pencapaiannya belum memuaskan betul, hanya satu media nasional di Jakarta, media di Bandung dan media di Jogja serta media online yang tanpa diminta otomatis mengirimkan honorarium ke rekening saya. Beberapa mengirimkan honorarium setelah dikonfirmasi. Beberapa lagi meskipun telah dikonfirmasi tak juga mengirimkan respons apalagi honorarium. Selebihnya lebih banyak penulis yang memilih sikap asketik, karena malu bila harus berkelahi—meminjam istilah seorang kawan yang tak perlu saya sebutkan namanya—saat konfirmasi honorarium ke sekretariat redaksi.

Bersama Udo saya juga mendiskusikan soal bahasa ibu, satu concern Udo yang membesarkan namanya. Udo juga bercerita banyak soal kerisauannya pada RSBI, strata sekolah yang kini lebih banyak ditinjau dari biaya yang mahal dan bahasa pengantar yang internasional. Di sela-sela obrolan kami Udo harus menyelesaikan sedikit tugas keredaksiannya malam itu. Ia mengajak saya turut ke ruang kerjanya. Saat Udo mengetik di komputer pandangan saya edarkan di ruang redaksi. Angan saya membual, teringat saat saya tidak lebih 3 bulan pernah jadi wartawan di Solo. Saya juga teringat sahabat maya saya, Bung Sungging Raga, cerpenis yang menggilai Kereta Api hingga ke sumsumnya. Bung Raga pernah mengatakan dalam akun facebook-nya, ingin sekali membaca edisi cetak media di Lampung yang memuat cerpen-cerpennya. Saya kira Bung Raga pantas iri dengan saya, karena saat itu saya tak hanya membaca edisi cetak media di lampung itu, tetapi ikut duduk di ruang kerja redakturnya. Di kantor itu pula saya sempat berjumpa S.W. Teofani, cerpenis yang kerap saya baca ceritanya. Saat bersalaman dengan S.W. Teofani saya baru saja menghapus kegugupan saya. Mulanya saya mengira S.W. Teofani seorang laki-laki, ternyata beliau seorang penulis perempuan yang produktif. Saya juga sempat berbincang sebentar dengan Bung Adian Saputra, Asisten Redaktur Bahasa yang bersama saya beberapa kali menulis di rubrik Laras Bahasa.

Saat malam benar-benar turun saya berpamitan dengan Udo. Saya berkesempatan sua dengan penulis Lampung yang lain lagi, Mas Budi P. Hatees. Satu waktu Mas Budi hampir singgah di kota saya sebab pekerjaannya di Pekalongan, namun karena sesuatu ia tidak jadi mencicipi Tahu Pletok di kota saya. Beruntung karena saya berada di Bandar Lampung saat akhir pekan, Mas Budi ada di Bandar Lampung juga sehingga kami dapat bertemu. Kami kemudian meluncur ke tempat makan-minum yang dari sana kami dapat membuang pandang ke Teluk Lampung yang eksotik saat malam tiba. Meski berkali-kali Mas Budi mengulang nama tempat dan kawasan tempat kami mengobrol itu, sayang ingatan saya tak baik, sehingga saya tak ingat lagi untuk menuliskan namanya.

Itu pertemuan pertama saya dengan Mas Budi, setelah sebelumnya kami intens berdebat di facebook atas banyak hal. Karena selama ini komunikasi kami secara visual—melalui tulisan, saya kesulitan mengeja pseudoname Budi P. Hatees. Awalnya saya mengeja Hatees seumpama kita mengeja Kates alias pepaya. Ternyata Hatees dieja ha-te-es, atau HTS, singkatan dari Hutasuhut. Saya kira pembacaan saya wajar, soalnya Hatees ditulis sebagai kata, bukan akronim. Begitu juga dengan Udo Z. Karzi. Awalnya saya mengeja namanya Udo Z. Karzi, dengan aksen ‘z’ di tengah kata ‘Karzi’ yang mengganggu lidah saya. Ternyata Udo Z. Karzi biasa di sapa Udo Zul, yang lebih enak bagi lidah saya. Sayang, karena banyak yang hendak saya ceritakan, saya lupa menanyakan asal usul Karzi dilekatkan dalam pseudoname-nya.

Membuka perbincangan saya menanyakan pada Mas Budi, apa makna idealisme bagi dia. Saya tahu Mas Budi pernah menjadi wartawan di salah satu media di Lampung, pernah menjadi Kepala Biro, Redaktur hingga Kepala Bagian Litbang (atau Pusdok?—maaf ingatan saya lagi-lagi tak kuat). Karena perbedaaan visi, Mas Budi memilih keluar dan menjadi konsultan media saat ini. Saya kira, saya banyak memiliki kesamaan pandang dengan Mas Budi, meskipun sesungguhnya perspektif kami berbeda tajam. Soal situs Sekala Brak di Lampung misalnya, kami, saya dan Mas Budi sama-sama skeptis bila Sekala Brak diklaim sebagai kerajaan sebelum kami menemukan bukti-bukti yang reliabel. Mas Budi dan saya beberapa kali menulis esai soal ini di media di Lampung, yang berlanjut dengan perdebatan di facebook. Meski sama-sama skeptis, ternyata perspektif kami berbeda, dan bangun-teori tempat kami menyandarkan argumentasi juga berbeda jauh. Sesungguhnya saya sedang menunggu catatan sahabat saya yang lain lagi, M. Harya Ramdhoni, penulis novel Perempuan Penunggang Harimau dengan setting Sekala Brak untuk menengahi diskusi kami dengan sumber-sumber terpercaya yang dimilikinya. Saya hanya sempat berdiskusi via telepon dengan Bung Doni, namun belum sempat berdiskusi lebih intens melalui tulisan.

Saya mengapresiasi Mas Budi yang keluar dari tempatnya bekerja—atas nama idealismenya—meskipun saya tak paham betul argumentasi atas sikapnya itu. Ketika saya tanyakan soal visi idealismenya, saya hendak menggarisbawahi beberapa aktivitasnya kini: konsultan media, editor penulisan biografi, dan politisi. Sebagai konsultan media dan penulis biografi, saya sampaikan pandangan saya bahwa idealisme seringkali tidak identik dengan profesionalisme. Saya masih belum dapat menerima profesionalisme advokat—maaf, ini hanya kesan pribadi. Setiap pesakitan, yang terbukti bersalah sekalipun, bahkan yang ancaman hukumannya di atas lima tahun, wajib dibela advokat. Advokat membela sebagai kewajiban profesi: bahwa pesakitan juga memiliki hak asasi untuk membela diri sampai batas-batas yang membuat hukumannya paling ringan. Saya tentu bukan orang yang luput dari kesalahan. Setiap orang bersalah butuh permaafan untuk mengubah dirinya menjadi lebih baik. Dalam konteks ini saya kira profesi advokat dapat saya apresiasi. Namun membela sesuatu yang tak masuk nurani, dengan berpanjang-panjang soal profesionalisme saya kira sama busuknya dengan pelaku kejahatan itu sendiri —apalagi kalau ia tidak menunjukkan tanda-tanda bersalah dan hendak berubah menjadi lebih baik.

Sebagai editor penulis biografi dan konsultan media apalagi politisi saya khawatir sahabat saya Mas Budi terjebak dan menjebakkan dirinya pada visi profesional namun mengeyampingkan idealisme, satu visi ideal yang diakui sebagai kebajikan universal. Mas Budi tersenyum atas tanggapan saya yang keras—sebagaimana perdebatan kami di facebook yang panas. Ia menjelaskan kepada saya visi idealismenya, menjawab keraguan saya atas irisan antara profesionalisme dan idealisme serta visi politiknya. Sebelumnya saya sungguh tidak menduga bila Mas Budi berpolitik: menjadi pendiri partai yang bersih, peduli dan profesional di salam satu kota di Lampung, dan kini menjadi Wakil Ketua DPW partai yang setia membela yang benar. Awalnya saya kira visi politiknya hendak menjadi oposisi dalam sistem belaka atau berpolitik dalam kerangka fardhu kifayah seperti yang saya duga untuk membersihkan partai politik dari daya rusaknya. Ternyata Mas Budi telah berhitung banyak, dan visi politiknya jelas pada tahun-tahun mendatang. Sebagai sahabat—sebagaimana perdebatan kami di facebook—saya hanya menggaransi, bahwa saya adalah orang yang pertama menulis esai mengawal kiprah politik Mas Budi, seandainya takdir mengantarkannya menjadi politisi sesungguhnya. Saya ingat Korrie Layun Rampan, sastrawan kita juga menjadi anggota DPRD di Kalimantan. Mudah-mudahan Mas Budi dapat berbuat sesuatu yang lebih baik, kelak, meskipun saya—dengan visi ilmuwan—akan bersikap skeptis sebelum ada bukti.

Sambil mengudap roti bakar kami masih bercerita banyak. Soal-soal teknis kepenulisan dan komentar Mas Budi atas naskah novel saya. Mas Budi menawari saya rokok, yang segera saya tolak. Ia juga menawarkan kopi, dan lagi-lagi saya tolak. Saya tak merokok, tak juga minum kopi. Mas Budi sedikit kaget, katanya: baru kali ini ia berjumpa penulis yang tak merokok dan minum kopi. Saya ikut tersenyum sambil mengatakan: mau saya beri tahu rahasia terbesar lain? Mas Budi mengangguk. Saya katakan padanya: saya menulis sejak kelas 1 SMAhingga kini, hampir 15 tahun lamanya, dan tak pernah saya miliki mesin ketik, komputer apalagi laptop. Saya tak terbiasa menulis di rumah, atau di tempat-tempat yang sepi. Saya lebih suka, dulu, menulis di rental komputer, dan kini di kantor. Praktis, hemat, dan adrenalin terpacu karena harus menulis bergegas.

Mas Budi masih sempat mengajak saya ke Lapangan Enggal. Di sana kami mendiskusikan banyak hal lagi, soal-soal kebudayaan Lampung, juga menyinggung soal transmigrasi—isu yang akan saya angkat dalam naskah novel selanjutnya. Bandar Lampung semakin larut. Cerita saya sesungguhnya masih banyak. Posting ini telah tertulis 7 halaman kuarto 1 halaman. Sedang esoknya saya masih harus ke Pringsewu menghadiri pernikahan sepupu saya. Saat itu sudah hampir pukul 02.00 dinihari. Saya pun tak enak dengan Mbak Hesma Eryani karena obrolan kami menyita waktu bagi keluarganya :). Kami kemudian beranjak dari Lapangan Enggal. Saya lelah, namun puas. Perjalanan saya di Bandar Lampung tak sia-sia. Kelak saya berjanji akan mengulanginya lagi. Dengan orang-orang yang saya temui lebih banyak lagi. Salah satunya anda. Asal tak marah bila saya tuliskan menjadi testimoni di blog ini :). Ya, ya?

5 Tanggapan to “Napak Tilas Bandar Lampung”

  1. Kate Redmond Says:

    Dalam bahasa yang umum dipakai para pujangga, saya mengomentari perjalanan Anda ke Lampung itu sebenarnya perjalanan panjang Anda juga di tempat lain, sebagai “a journey, not a destination.” Memang melelahkan.
    Tapi apa enaknya ketika sebuah misteri sudah terkuak karena kita merasa sudah sampai pada “destination” itu? Saya lebih suka mengembara, menemukan pernak-pernik kehidupan. Sebagaimana saya pernah melalui hidup sebagai seorang guide berbahasa Inggris di Jogja, menjadi waiter di kapal pesiar, sekarang bekerja sebagai konsultan di sebuah lembaga internasional, sambil terus mengasah kepekaan melalui kegiatan baca dan tulis. Dan saya masih belum merasa lelah untuk menggapai mimpi-mimpi lain yang terus saya ciptakan, agar “a journey” itu tidak menjadi “destination.”
    Bravo untuk rencana Anda membuat novel.

  2. Hartono Rakiman Says:

    Sori, itu nama saya kamu ganti dengan Hartono Rakiman aja ya, biar cocok sama tulisannya. kemarin soalnya barusan saya copy paste komentar temanku yang bule Amerika di wordpress juga.

  3. miyu Says:

    senang membacamu dalam detail tanpa kesan bertele-tele… 😀 (tampaknya lebih matang dari alur naskah novel yang pernah kubaca tapi belum sempat kukomentari secara tertulis)

    mudah-mudahan jika ada jejak di lain kali… aku bisa masuk dalam agenda :D. wiss u all the best

  4. berlianing Says:

    jadi pengen ke lampung dehhh 🙂

    -djawathedjawara.blogspot.com

  5. andy boy Says:

    mas mpep piknik trus ya..asik deh…


Tinggalkan komentar