semarang

f 9, 2009

513127406_edcff70fabSeharusnya Semarang dapat menjadi kota wisata yang mbetahi lan ngangeni. Namun hiruk pikuk kota ini telah membuatnya menjadi kota yang bergegas. Tak ada ruang untuk berleha-leha, apalagi ramah pada model backpacker infantri seperti saya. Sayang memang, namun saya tetap berusaha menikmati yang baik-baik dari Semarang.

Saya memang belum pernah tinggal di Semarang—setidaknya menurut kategori administrasi kependudukan: berturut-turut selama enam bulan. Saya hanya beberapa kali singgah di kota ini. Menginap satu atau dua malam karena ada agenda tertentu. Praktis saya hanya berkesempatan mengelilingi kota dalam jangkauan angkutan umum dan bilangan jam saja.

Tidak ada Semarang tanpa Kota Lama. Saya tidak tahu pasti apakah Semarang periode kolonial bermula dari kawasan ini—seperti halnya Kota Lama Jakarta di Sunda Kelapa. Namun tesis saya boleh jadi benar, karena Kota Lama Semarang berada dalam yurisdiksi Pelabuhan Tanjung Emas. Sebagai kawasan perdagangan dahulu Kota Lama dilindungi oleh benteng yang dikenal sebaga Bentek Vijhoek dengan poros Gereja Blenduk (Nederlandsch Indische Kerk) dengan kubahnya yang khas dan kantor-kantor pemerintahan. Penguasa kolonial kala itu terhitung sebagai pemeluk Protestan yang taat. Tak heran bila mereka menjadikan gereja sebagai makrokosmos kehidupannya.Kota Lama juga disebut Outstadt atau Little Netherland, satu ungkapan yang menggambarkan suasana tropis namun direkonstruksi layaknya negeri kincir angin di Nederland sana, berbeda tipis dengan Kota Lama Jakarta yang disebut Little Amsterdam.

Satu sore yang manis saya pernah berkeliling dengan becak bersama istri (baru) saya di kawasan ini. Kami menyusuri jalan yang tersusun rapi dari paving block. Melintasi Stasiun Tawang, kemudian tak jauh dari situ memutari Polder Tawang. Satu kolam besar yang diangankan mampu menampung limpasan rob dari kawasan seputar stasiun. Polder Tawang berisi air penuh. Keperakan ditimpa matari senja. Pak becak masih mengayuh pedalnya saat saya menikmati barisan gedung-gedung tua, sebagian bercat putih meski di sana sini dihiasi lumut.

Saya tak dapat mengingat satu persatu gedung-gedung bergaya kolonial—yang katanya art deco atau barok (baroque atau barroco dalam lafal Portugis), entah art nouveau. Namun saya dapat menduga bila gedung-gedung yang diyakini ultramodern pada dasawarsa 1920an—sehingga disebut art deco—atau bercorak arsitektural yang detail—sehingga disebut barok—itu adalah bangunan bermacam-macam maskapai dagang. Kalau ada arsitek yang paling bertanggungjawab atas wajah Kota Lama hari ini bolehlah kita menyebut Thomas Karsten. Meneer satu inilah yang antara lain mendesain Pasar Johar, serta bekas Gedung Stoomvart Maatscharpij Nederland yang kini digunakan P.T. Djakarta Llyod yang bergerak di bidang jasa pengangkutan laut.

Becak berbelok. Menyusuri Jalan Letnan Jenderal Suprapto. Kami rehat sejenak di taman kota kecil, persis di depan Gereja Blenduk. Memandangi burung-burung yang berterbangan, sebelum kemudian memesan Sate Kambing 29 di samping gereja. Sate Kambing 29 yang banyak diliput dalam artikel dan acara wisata kuliner di media ini menyediakan rupa-rupa sate: sate buntel, sate kambing, dan gulai sumsum (kambing) dengan harga yang mahal menurut saya—maklum, backpacker infantri-kapiran. Namun saya berhasil meyakinkan istri (baru) saya bahwa Sate Kambing 29 ini legendaris, dimuat berkali-kali di Kompas, Pak Bondan Winarno tak ragu mengucapkan mak nyus dalam acaranya Wisata Kuliner, dan resto ini bernilai sejarah, budaya, bla-bla saya mengoceh hingga pesanan datang dan istri saya termakan oleh hasutan saya dan lapar yang menohok lambungnya.

Selepas Jalan Suprapto becak kami melintasi Jembatan Berok (dari kata brug yang berarti jembatan (Bld)), melintasi satu kawasan plasa yang lebar hingga ke Pasar Johar. Tak banyak yang menarik dari pasar ini kecuali polemiknya di media massa. Kekayaan arsitekturalnya diinterupsi pedagang yang menggelar dagangan secara seronok. Walhasil tak ada makna apa-apa lagi dari pasar ini kecuali dulu, dulu, bahwa pasar ini adalah salah satu pasar modern pertama di Semarang. Satu pasar yang didesain oleh Thomas Karsten. Satu pasar yang sezaman dengan Pasar Gedhe Harjonagoro di Solo, namun bedanya yang satu masih gagah berdiri yang satu mulai kisut di gilas zaman. Ah, tak baik menyesali sejarah bukan.

Di Pasar Johar kami kembali rehat, sembari membeli wingko babad. Sebenarnya kami ingin melanjutkan berburu bandeng presto di Jalan Pandanaran yang resmi menjadi pusat perkulakan olahan bandeng sejak tahun 2001 atau meluncur ke Jalan Mataram untuk mencicipi loenpia (lumpia menurut lidah Semarang yang keblanda-blandaan kecina-cinaan (semula saya mengira loenpia berasal dari tradisi kuliner kolonial semacam rijstaffel, ternyata loenpia berakar dari khazanah kuliner China, setelah saya menonton Kamus Kuliner yang dipandu Prof (ris). Hermawan Sulistyo, idola saya dalam kajian mengenai Gerakan Mahasiswan yang kini nyambi jadi prsenter acara kuliner–mpep)) yang mengaku ‘asli dekat (Toko) Roti Sanitas’ semua. Mengingatkan saya dengan sentra Getuk Goreng Sokaraja Purwokerto yang mengaku titisan trah Haji Sanpirngad melalui garis Haji Tohirin sejak 1922 1918. Atau pusat kuliner sate kambing di bilangan Tirus Tegal yang mengaku cabang dari Haji Sakya.

Namun rencana itu tidak taktis. Pusat wisata Semarang tersebar, dengan satu jarak yang tak mungkin ditempuh secara infantri. Bahkan Kota Lama yang eksotik tak nyaman dinikmati dengan berjalan kaki—seperti di Malioboro Jogja atau paling kurang Jalan Slamet Riyadi Solo. Pedestrian cukup lebar, namun tak ada sebijipun pohon ditanam di kiri-kanan jalan. Maklumlah, gedung-gedung maskapai tua itu bahkan tak memiliki halaman, tembok depan gedung sekaligus menjadi pagar pembatas dengan jalan raya.

Saya berinisiatif menumpang bus kota menuju Kawasan Simpang Lima. Istirahat di Masjid Baiturrahman Simpang Lima sambil menikmati renik-renik peradaban modern di sela-sela pusat perbelanjaan yang mengepung Simpang Lima. Simpang Lima menjadi kawasan yang kompak menurut perspektif ekonomi, namun tak taktis menurut kacamata wisatawan. Ingin ke Masjid Agung Jawa Tengah (MAJT) yang belakangan mulai sohor karena payung elektriknya seperti pada masjid-masjid di tanah suci, harus berkali-kali ganti bus kota dan angkot. Ingin ke Jalan Pandanaran harus mbecak. Ingin ke Jalan Mataram, lebih repot lagi. Mau ke Kota Lama juga harus berkendaraan. Apalagi bila ingin menjajal Lawang Sewu.

Bila tak ingin kemana-mana, menepi saja di trotoar. Mencicipi Tahu Gimbal. Tahu ini eksotik. Satu porsi sepiring penuh hingga nyaris tumpah. Yang menggugah rasa apalagi kalau bakwan udang yang dipajang secara demonstratif tersusun rapi di gerobak. Bersama segelas es teh, dan berjilid-jilid lagu namun sepenggal-sepenggal bait dari pengamen. Bagi anda yang merindukan ‘suasana hangat kaki lima’, di kaki lima Simpang Lima salah satu tempat yang layak menjadi referensi anda.

Tak ke Semarang kalau tak mampir ke Lawang Sewu. Ya. Ya. Gedung milik Nederlands-Indische Spoorweg Maatschappij (NIS) ini dibangun pada tahun 1903 dan selesai pada tahun 1907. Posisinya persis di seberang bundaran Tugu Muda yang dahulu disebut Wilhelmina Plein. Di Bundaran ini pula Pertempuran Lima Hari di Semarang meletus, sejak 14 Oktober-19 Oktober 1945. Lawang Sewu disebut demikian karena dianggap berpintu seribu. Meskipun jumlah pintunya tak sebanyak itu, dan yang dikira pintu oleh banyak orang sebenarnya adalah jendela yang tinggi dan lebar. Lawang Sewu memiliki dua menara kembar di muka yang secara arsitektural menarik, serta secara praktis dimanfaatkan sebagai tangki air.

Saya belum pernah menjejak kaki di Lawang Sewu. Saya justru berminat menikmati Museum Mandala Bhakti yang memajang meriam arteleri di sisi Tugu Muda yang lain. Atau menikmati arsitektur Gereja Katedral Randusari di sisinya yang lain lagi. Atau Wisma Perdamaian yang menjadi rumah dinas Gubernur Jawa Tengah. Sayang, semuanya hanya dapat dinikmati sekilas saat melintasi lampu merah Tugu Muda. Museum lebih banyak tutup, atau mengesankan tutup dan sepi. Wisma Perdamaian? Ah, tampaknya tak dibuka untuk umum, kecuali saya menjadi tamu gubernur. Lawang Sewu? Mau melihat apa, karena tampaknya di dalam gedung sebesar itu tak ada isinya. Gereja Katedral Randusari? Saya tak ingin menjadikan tempat ibadah sebagai ‘obyek wisata’ dengan berpotret-potret dan senda gurau. Jadi, cukup mengintip selintasan kejap dari jendela bus kota—meskipun pengin juga seperti Arbain Rambey mengabadikan kawasan Tugu Muda melalui lensa kameranya dari jendela pesawat.

Gambar diunduh dari: loenpia.net

12 Tanggapan to “semarang”

  1. Muiz Segera Says:

    Maaf,bukankah kalo di Jakarta itu yang ada adalah “Kota Tua”, Mas? hehe….

  2. Lintang Says:

    Istri (baru)? hayo dijelaskan :p

    Gak tahu kenapa jika mendengar kata Semarang di kepala sy otomatis muncul lumpia rebung, tahu gimbal, soto bangkong dan mie Bandung (ini namanya mie Bandung tapi tdk ada cabangnya di Bandung, salut utk strategi marketing penjual yg bikin penasaran).

    Makanan di sana memang cenderung manis-manis tapi kita selalu dikejutan oleh sensasi yang timbul jika bercampur dengan pedas dari sambal atau rawitnya.

    Dulu waktu kecil, saya tergila-gila dengan cerita detektif yaitu seorang gadis kecil yang cerdik dari Krapyak, Semarang bernama Noni yang bersahabat dengan Godek bekas penjahat untuk memecahkan misteri. Saya sampai terbawa menjadi tomboy karena buku itu. Namun entah mengapa, berkali-kali singgah di Semarang sewaktu masih menjadi air crew tidak membuat saya sempat mencari daerah Krapyak dengan jejak Noni disana 🙂

    Kenangan lainnya tentang Semarang adalah sy menonton film “Titanic” yang legendaris itu di Ciputra Mall di Simpang Lima untuk yang ketiga kalinya.

    Hanya satu hal yang membuat sy menunduk jika mengingat Semarang yaitu “ciblek-ciblek” di simpang lima (semoga sekarang sudah tidak ada ya). Namun demikian, Semarang tetap termasuk dalam list tujuan wisata domestik bersama wortel, anak saya jika dia sudah bisa membawa back pack-nya sendiri suatu hari nanti……

  3. zenteguh Says:

    waduh semarang rek, historis tenan pancene..
    Eniwei, si thomas karsten ini memang arsitek jempolan. Tak hanya semarang, karyanya juga membekas di Malang dan beberapa kota lain di Indonesia. Khas belanda…

  4. haris Says:

    saya pernah magang di semarang selama sebulan. bagi saya, semarang bukan kota yg menarik. he2. aktivitas kesenian kurang, apalagi kesusastraan. hanya bbrptempat indah yg bs menadi pelipur lara kota ituh.

  5. pipit Says:

    sebelumnya, thanx bwt bung febrie (halah, bung!!)yg udah sent mesej saya utk baca tulisan ini (padahal tnp sent mesej jg aku suka visiting this blog lho!!)
    sbg pemegang KTP semarang, jd gatel jg bwt meninggalkan komentar disini.
    semarang bukan kota yg indah bro, bukan kota yg asik,dan sama sekali bukan kota yg ramah pedestrian.
    satu2nya alasan aku mencintai kota ini adlh krn disinilah aku hidup dan belajar ttg kehidupan yg baru bersama keluarga kecilku.
    Gereja Blenduk, gak pernah sekalipun kusinggahi (lewat si udah gak keitung),yg pasti srg banget dipake bwt poto prewedding.dan kaya’e memang asik bwt sejenak ngadem di siang hari,silir 🙂
    Lawang Sewu,beberapa kali kumasuki, itupun kalo pas ada pameran2 yg (sebenernya juga)gak penting (bwt aku)
    Kota Lama,gak pernah menyengaja utk menyusuri daerah sini. apalagi kalo malem, amit2. satu2nya kesenanganku lewat sini adlh jalannya yg berpaving. mengingatkanku pada kota2 di eropa yg (dulu) pengeeennn bgt kudatangi.
    Apalagi kalo udah ketemu yg namanya ROB, wiii amit2 deh, susah payah muter sana sini cari jalan. dan seringkali kami (aku&bojoku) melihat, sepeda motor milik orang2 yg tinggal di daerah situ hampir semuanya memperlihatkan karat disana sini (ha3..ga penting euy!!)
    Simpang Lima….coba aja maen kesana di malem minggu ato minggu pagi, dijamin umpel2an dg pedagang dan mereka yg (diharapkan) membeli dagangannya.Kalo bwt pecinta belanja awul2 macem aku, ya uasik teniinn…
    hampir semua yg disebutin di atas pernah kusinggahi, pun dg kuliner’nya. kalo utk yg satu ini,tak akoni memang asik (halah,nek urusane panganan kok asik!!)
    tapi…semarang yg kurasakan memang makin hari makin semrawut. miris kalo ngeliat halte BRT (Bus Ra Tutug, Bus Rencana Thok)yg tersebar hampir di sepanjang semarang timur sampe barat. belum lagi terminal mangkang yg magrong2 tp masih terlihat sepi (ato mungkin belum rame?!), plus macetnya yg mulai gak kira2.
    kalo ttg sejarah, seni dll’nya, maap banget bro, aku kurang paham yg urusan begituan 😦
    yg pasti, aku berani bilang bahwa kota ini memang “rada malesin”!!hahaha…
    terlepas dari semua itu, inilah kota tempat dimana aku belajar kehidupan yg sebenarnya.maka aku tetep mengajarkan pd anakku utk mencintai kota ini, krn disinilah dia hidup dan dibesarkan.
    (hi3…sori banget bro, malah jd berpanjang lebar, mentang pemegang KTP semarang!!hahaha…)
    oke deh. yg pasti, blog’na Febrie ki emang TOP dah!! Sukses ya bro!!

  6. semuayanggurih Says:

    tahu kenapa disebut sebagai kota lama? karena sekarang sudah relatif ditinggalkan aktivitas. kawasan kota lama adalah pusat kota pada jaman belanda dulu, pada waktu daya dukung lahan masih cukup bagus. sekarang? kota lama hanya menjadi kota siang hari, karena pada malam hari sudah menjadi kota mati. sebabnya, ya karena itu tadi, daya dukung lahannya tidak kuat lagi: rob, banjir, kondisi bangunan sudah tidak memadai, dan banyak lagi masalah yang sangat kompleks. bahkan masalah yang ada, dari saya mulai sekolah di sana sejak tahun 1999 sampai sekarang, masih belum bisa diselesaikan. aktivitas yang dulunya mengambil tempat di kota lama beralih pada bagian kota lain, sehingga bagian yang ditinggalkan sekarang disebut sebagai kota lama. kawasan itu menurut saya bahkan menjadi “benalu”, tetapi harus dipertahankan. secara ekonomi dan ekologi, hampir tidak ada yang bisa diambil dari adanya kota lama, bilapun ada maka membutuhkan cost yang besar. alasan kota lama tetap dilestarikan adalah posisinya sebagai warisan budaya yang dilindungi (dalam UU penataan ruang dimasukkan sebagai kawasan lindung lho). so, kalo hitung2annya benefit/cost ratio yang materiil, pasti dah digempur tu kawasan, dan dijadiin polder. tapi karena ada alasan lain (budaya, dan ini menjadi concern utama orang2 akademisi di semarang bahkan indonesia), maka kota lama tetap dipertahankan eksistensinya. eniwei, saya sempat enam tahun hidup di semarang (bagian atas, bukan kota lama), dan saya suka dengan semarang, setidaknya semarang bagian atas. kalo semarang bagian bawah sih, huaduh, pikir2 lagi deh…

  7. masmpep Says:

    @ muiz segera
    soal ini ada perbedaan pendapat. ada yang menganggap kota lama idem ditto kota tua. namun ada yang membedakan kalau kota lama di kawasan sunda kelapa, kota tua di kawasan glodog.

    mana yang benar, tentu wallahualam bisshowab.

    @ lintang
    istri (yang) baru (dinikahi beberapa minggu lalu)….

    kuliner semarang memang beragam. namun cita rasanya tak semanis solo atau jogja. boleh dibilang saya tak fanatik pada satu jenis masakan semarang. tak ada yang benar-benar menggetarkan saya….

    cerita detektif ber-setting krapyak? tentu menarik. dan kira-kira saja penulisnya kelahiran krapyak, paling sedikit yang pleburan atau plamongan, he-he-he. soalnya krapyak tentu tak seeksotik setting pelem-pelem indiana jones, atau pelem leonardo de caprio di thailand sana deh, he-he-he.

    ciblek semarang? saya kira mulai tertib deh. ada kecenderungan anak-anak muda tak lagi nongkrong di simpang lima atau taman KB, tetapi meluncur ke tugu muda. merampas rumput-rumput taman untuk bercengkerama dengan kekasih atau selingkuhannya. hah. memang. remaja zaman akhir….

    @ zen teguh
    saya baru tahu kalau jelajah karsten sampe malang. wuih. orang satu ini sudah mempermak wajah kota-kota di jawa ya…

    @ haris
    benar mas. namun saya tetap menghargai kota ini–di mana sekian puluh ribu orang menjadi warganya, mungkin sebagian dari itu mencintai semarang sampai sumsumnya–dengan menulis yang baik-baik dari kota ini.

    @ pipit
    ah, saya malu denganmu jeng, sebagai pemilik kota ini tentu dirimu lebih memahami seluk beluk semarang.

    ada beberapa hal yang membuatku mengagumimu: engkau mencintai kotamu dalam kegusaran, hanya karena engkau dibersarkan di semarang.
    aku mengapresiasi mimpimu menjelajah eropa. mengapa tidak kawan? ikal dan arai saja sampe hampir beku hipotermia di belantara salju eropa, hanya untuk mengejar mimpi-mimpinya. sebagaimana andrea hirata mengabarkan pada kita lewat tetraloginya.

    dan di sela kegundahanmu engkau masih sempat melihat karat sepeda motor sesamamu. aku malu dan beruntung tak menjadi orang semarang, karena motorku lebih sering berdebu tak sempat aku cuci, ha-ha-ha.

    dan lagi-lagi aku menyetujuimu. ananda harus mencintai kotanya, sebelum ia mencintai pacarnya (halah, sok romantis).

  8. masmpep Says:

    @ semuayanggurih
    kota lama dijadikan polder? waduh, itu menginterupsi memori kolektif warga semarang dong. kota lama itu menjadi satu prasasti periode lintasan sejarah yang dilewati kota, dengan meninggalkan artefak-artefaknya.

    tapi mengelola artefak tentu tak produktif. namanya saja prasasti. alih fungsi dsb, hanya cara agar prasasti itu tetap ada. semacam klangenan. soalnya hingga saat ini belum ada cara lain.

    semarang atas memang sedikit lebih menarik. srondol. banyumanik. tak terlalu panas. lanskapnya manis. apalagi melihat lembah yang bertabur atap rumah. saat malam hari. berkelap-kelip.

    syahdu.

  9. ninin Says:

    halo mas febri, untuk pertama kalinya ninin kasih komentar….
    SEMARANG…wow ada satu lagi yang harus dicoba, kalo hati lagi rindu ilahi datang aja ke masjid agung semarang yang lama setiap malam rabu/kamis ya…(agak lupa) disana selalu diadakan wiridan, bikin hati cespleng…bayangin rasanya berdzikir di kawasan simpang lima yang sangat glamour…

  10. haris Says:

    kunjungi blog baru saya ya mas.

  11. luhde Says:

    hai mas…

    saya dijak ke semarang dong. sya maniak lumpia semarang dan bandeng presto…

  12. sedjatee Says:

    sugeng rawuh di semarang.. jangan lupa singgah ke pondok saya.. jangan lupa makan tempe penyet, dan hati-hati pada ciblek yang gentayangan di sekitar anda.. salam semarangan…

    sedj


Tinggalkan Balasan ke Muiz Segera Batalkan balasan