Nares

f 21, 2009

Saya masih ingat betul, satu pagi di bulan November yang becek. Dosen Pengantar Sosiologi kami mengajar di muka kelas. Hari itu sesi Teori Perubahan Sosial. Dosen saya ini bercerita banyak, termasuk perubahan yang terjadi pada individu yang disebabkan perubahan lingkungan sosialnya. Beliau mencontohkan keluarga baru yang memperoleh anak, akan mengalami penyesuaian perilaku baru. Tak jarang hingga over acting.

Keluarga baru, lingkungan baru, over acting. Kuliah dosen saya ini terngiang-ngiang kembali ketika istri saya positif mengandung beberapa bulan lalu. Saya berjanji pada diri sendiri untuk bersikap rileks, biasa saja dan tidak berlebihan. Dosen saya mencontohkan perilaku over acting ayah dan ibu baru misalnya sangat detail mengetahui perkembangan anaknya, lebih dari kebiasaannya semula. Menyebut ‘tiga bulanan’ menjadi ‘sepuluh minggu’. Atau bila biasanya menyebut ‘satu tahun lebih’ menjadi ’empat belas bulan dua minggu’.  Sangat akurat, termasuk demonstratif menceritakan buah hatinya telah dapat tersenyum, rambutnya tumbuh dua helai, dan seterusnya.

Saya hanya ingin rileks saja. Perkara memiliki anak tentu merupakan sesuatu yang besar bagi kami, namun bagi banyak orang yang telah mengalami mungkin sudah menjadi sesuatu yang biasa. Sehingga bila kepada teman yang tak terlalu akrab kita bercerita panjang lebar dan detail dapat disebut over acting. Mungkin begitu sederhananya penjelasan dosen saya. Namun bukan berarti kebahagiaan dan kebanggan saya tak menggumpal. Saya hanya ingin menikmatinya dengan diam-diam, sambil menuliskan beberapa yang perlu anda ketahui.

Mempersiapkan segala sesuatunya, tentu harus. Namun tidak dengan cara-cara yang demonstratif. Saya dan istri berusaha menikmati perubahan lingkungan sosial-biologis ini perlahan. Kami membekali diri dengan mencari pengetahuan yang lengkap, dan sedapatnya ‘benar’. Kami kemudian membeli beberapa buku. Namun hanya satu buku yang paling memikat, saya kira. Buku yang saya beli di Jogja. Bergambar, praktis, namun realisis. Ditulis dengan metode pertanyaan-pertanyaan dasar yang paling sering ditanyakan. Dalam perjalanan kehamilan istri saya, buku itu menjadi referensi kami yang pertama.

Saat mengandung, saya beberapa kali mengajak istri menikmati sejumlah kegiatan. Pentas teater, diskusi di alun-alun, dan berkunjung ke perpustakaan. Teori-teori yang saya baca mengatakan jabang bayi dalam kandungan sudah mulai mendengar dan menerima getaran positif lingkungan di sekelilingnya. Banyak teori menyebut-nyebut musik klasik. Namun saya sendiri tidak memahami cabang musik yang satu ini. Tak sesuai benar dengan teori, tak apalah. Bukankah hidup penuh dengan improvisasi.

Dokter menghitung jadwal kelahiran pada bulan-bulan Juli. Menjelang melahirkan istri saya antarkan ke rumah mertua, untuk perlindungan yang lebih baik. Soalnya kami berdua sama-sama tak berpengalaman. Istri saya pun tak dapat membedakan mana mulas ingin ke toilet dengan mulas ingin melahirkan. Hampir tiga minggu saya ulang-alik dari tempat tinggal kami ke rumah mertua di Jawa Tengah pada akhir pekan.

Setelah menunggu beberapa hari, satu malam istri mengeluhkan munculnya bercak dan perasaan mulas. Pukul 02.00 kami diantar mertua tiba di Rumah Bersalin. Sesaat setelah diperiksa bidan, istri diminta menunggu beberapa waktu di kamar. Saya dengar, baru bukaan pertama, dari sepuluh bukaan. Saya diam saja. Mendampingi istri.

Pukul 04.00, perasaan nyeri mulai terasa menggigit, kata istri saya. Oleh bidan ia dipindah ke kamar bersalin. Saya dan ibu mertua ikut menemani. Saya menunggu saja istri merintih dalam frekuensi waktu tertentu. Saya usap-usap punggungnya. Saya memilih diam, karena saya berpikir saya tak dapat membayangkan apa yang dirasakannya, dan saya harus ‘menyarankan’ apa. Saya tentu belum berpengalaman. Satu dua kalimat normatif agar sabar dan menahan rasa sakit bukan tidak mungkin justru membuat ia jengkel. Soalnya saat kepedihannya memuncak, istri saya yang tak pernah berbicara kasar mulai berani membantah ibu mertua saya. Tentulah karena sakit melilit yang sangat. Saya selalu berada di sisinya. Mengesankan saya ada di dekatnya. Dan sesekali memanggilkan bidan.

Pukul 06.00 ketuban pecah. Bidan dan dokter mulai intensif mengawasi istri saya. Dokter secara persuasif memberi petunjuk cara mengejan, menghirup nafas, dan sikap tubuh yang benar. Saya berdiri agak jauh, memberi kesempatan dokter dan bidan bekerja. Saya dapat membayangkan konsentrasi istri saya yang terbelah, antara menarik nafas, mengejan, dan menahan nyeri.

Dokter memang mengesankan. Seorang muda, bersikap rileks, dan mampu membesarkan hati pasiennya dengan pujian karena berhasil mengikuti petunjuknya. Saya melirik istri saya, menjadi lebih percaya diri mengejan oleh sebab sikap dr. Yudha yang simpatik. Dokter terus menyemangati, dengan kalimat-kalimat yang santai dan ‘enak didengar’. Hingga sepupu istri saya yang telah memiliki tiga anak masuk kamar bersalin dan meletakkan mangkuk berisi air minum untuk merendam sebentuk bunga kering.

Saya pun baru sadar ada mangkuk dengan bunga kering direndam air putih. Lho, lho, kok ada bunga-bungaan segala, dokter mengomentari dengan ramah. Wah, harus segera disingkirkan itu. Kalau dr. Haryata tahu, pasti marah besar dia, katanya lagi.

Saya juga tak tahu manfaat bunga kering itu. Namun sebagai Sosiolog-kapiran spontan saya secara bergurau membantah dokter: ini kan kearifan-lokal, dok. Dokter menoleh kaget. Tersenyum. Geleng-geleng kepala. Bunga ini akan mengantarkan ibu ke jurang. Katanya menjawab dalam bahasa kedokteran-sastrawi. Kemudian ia memutuskan kebijakan-medik: efek daun ini dipercaya akan menguatkan stamina ibu saat mengejan. Tapi kalau ibu kuat mengejan, sedangkan jalannya bayi belum terbuka, justru berbahaya. Seperti kran tersumbat yang digelontor air terus-menerus, lanjutnya.

Saya tersenyum dan diam saja. Saya percaya dengan wewenang-ilmiah dokter. Tadinya saya pun tak tahu apa kegunaan Bunga Fatimah—begitu kata mertua saya kemudian—yang konon dipetik dari Tanah Arabia sana. Saya justru berterimakasih kepada dokter yang teliti merawat istri saya. Dalam hati saya hanya ingin memastikan buah hati kami mendengar bapaknya berargumentasi, dan meyakini kesosiologian bapaknya. Mertua saya cepat-cepat menyingkirkan mangkuk yang menimbukan polemik itu. Bersamaan dengan itu, setelah empat kali mengejan lahirlah bayi kami yang mungil. Menghirup udara sesaat, dan menangis sekencang-kencangnya.

Saya bersyukur, proses kehamilan, persalinan berjalan lancar dan buah hati kami sehat. Sesaat setelah istri dibersihkan dan bayi kami dimandikan, beberapa keluarga datang menjenguk. Melihat bayi mungil kami mereka mulai menaksir. Matanya mirip siapa, hidungnya, alisnya. Saya hanya diam saja. Tak ingin over acting. Begitulah, seharian kami menerima tetamu. Mereka menggendong bayi kami bergantian. Saya hanya melihat saja, belum berani menggendong. Saya tak ingin mengesankan menjadi seorang ayah yang gentle, namun ketika menggendong bayi membuatnya tak nyaman. Saya cukup puas memberinya kesempatan bergerak atau tidur dengan nyaman, tanpa saya ganggu dulu.

Esoknya, saat tetamu tak ada, saya baru berani menggendong bayi kami. Tak lama, karena rasaya saya masih kaku, dan bayi kami tak nyaman dengan dekapan saya. Oleh istri saya ia ditidurkan di ranjang. Saya menemani di sisinya. Saya pandangi wajahnya. Dengan lirih kemudian saya nyanyikan beberapa lagu. Ilir-ilir, agar kejawaannya mengental. Kemudian Shalawat Badar agar keyakinannnya menebal. Tak lupa Rayuan Pulau Kelapa dan Kampung dan Nan Jauh di Mato agar ia mencintai tanah airnya. Kebetulan istri saya sedang ke kamar mandi, dan mertua mencari sarapan, saya kemudian menyanyikan Indonesia Raya, agar ia bangga dilahirkan di negeri berjuluk Zamrud Khatulistiwa ini. Belum selesai bernyanyi, istri saya sudah keluar kamar mandi. Tersenyum mengetahui ulah saya. Mungkin pikirnya: dasar Sosiolog sableng.

Wajah bayi kami saya pandangi lagi dalam-dalam. Pagi sebelumnya ayah mertua saya bertanya, apakah sudah menyiapkan nama. Saya jawab sudah. Sejak beberapa waktu kemarin saya dan istri memang telah menyiapkan sebuah nama: Alifa Ardhanareswari, dapat anda sapa Nares yang dapat diartikan sebagai perempuan utama yang membanggakan orang tuanya, mengharumkan tanah airnya, dan menjaga keyakinan agamanya.

Gambar diunduh di: ima.dada.net

17 Tanggapan to “Nares”

  1. Lilis Says:

    Wes… jan jan, narsise sebagai sosiolog ulung ga abis-abis. Kirain mo cerita tentang bagaimana menjadi ayah baru, eh malah tetep dr sudut pandang sosiologi… Kalo dr sudut pandang matematika gimana, istrimu suruh cerita laen versi no… Btw, SELAMAT ya BOSS,,, Akhirnya penantian lama berujug kebahagiaan…

  2. riza cantik Says:

    ihh, bacanya jd pengen nangis. hebat istrinya y. Alhamdulillah sehat dua-duanya

  3. yanu Says:

    alhamdulillah….semoga semua yang dicitakan dapat menjadi nyata…yang jadi pertanyaan, kenapa ada gambar sri mulyani-nya ya??? apa gambaran mimpi sang ayah putrinya kelak kayak beliau??? hehehe….selamat.selamat..dan selamat bro, doain kami juga bisa mendapatkan kemudahan dalam melahirkan buah hati yang tinggal beberapa saat lagi (tapi aku gak mau nyanyiin darah juang ah, takut jadi teroris hihiihi)
    salam buat mba Dian 🙂

  4. Hasan Says:

    Puji Syukur ke hadirat Ilahi,
    Akhirnya putrimu tercinta telah hadir ke dunia.
    Saya ikut berbahagia atas lahirnya generasi baru Febrie & Dian Jr, semoga ia mampu menjadi pengagung agamanya, sebagaimana pesan orang tuanya.
    Akhirnya, proses menunggu itu telah berakhir. akhir yang biasanya dilalui dengan shock (disini kau sebut over acting), baik psikologis maupun budaya, namun kau berhasil jalani dengan sewajarnya saja. tapi saya yakin, itu hanya artifisial di permukaan saja, dalam batin, jelas penuh gejolak.

    OK, pokoknya selamat buat Bpk. Febrie dan Ibu Dian.

    sekaligus mohon doakan juga agar istri saya diberi keselamatan dan kelancaran dalam menjalani hal serupa. Amien.

  5. simoel Says:

    selamat…. om, sekarang statusnya bertambah” jadi BapaK” salah satu tanggung jawab dasar dan kewajiban orang tua terhadap anaknya adalah memberi nama yang baik, semoga harapan dan doa selalu mengalir dan terkabul untuk mu teman….

  6. fanny Says:

    terima kasih sudah mampir ke blog saya. semoga anaknya menjadi anak yg soleha ya.


  7. wah, selamat atas kelahiran putri tersayangnya, masmpep. sempga kelak si narez benar dapat menjadi perempuan utama yang membanggakan orang tuanya, mengharumkan tanah airnya, dan menjaga keyakinan agamanya.

  8. alamendah Says:

    Selamat…
    selamat…
    selamat…
    sholawat badar, lir-ilir, rayuan pulau kelapa, indonesia raya… perpaduan yang dasyat!!

    tentang akar bunga fatimah kebetulan pernah liat, tuh. Tanya sedikit, saya denger2 sugesti akan memberikan efek yang luar biasa. bahkan terkadang di luar jangkauan medis…

  9. haris Says:

    selamat mas febri. sekarang kau jadi ayah. jadilah ayah yang bertanggung jawab. he2. jangan cekoki anakmu dg teori perubahan sosial ala pak supri. hi3.

  10. Lintang Says:

    Selamat ya mas….. Alhamdulillah, istrinya hanya mengejan 4 kali. Saya sepuluh kali jadi dikalikan tiga (kontraksi setiap tiga menit), hampir setengah jam saya berjuang keras akhirnya mendapat kekuatan luar biasa ketika mendengar bayi saya akan divakum jika tidak keluar juga.

    Kataya sih karena suka melawan ayahnya sewaktu hamil jadi agak susah ketika bersalin, untung perjuangan saya sesuai dengan yang saya dapatkan. Sampai sekarang saya sering tidak percaya, saya bisa melewati masa masa kritis itu setiap memandangi vitamin hidup saya yang ngangenin itu.

    Btw, waktu dinyanyikan, si kecil gak nangis ya 🙂 terus saya agak bingung koq gambar dari postingan ini Ibu Sri Mulyani ya :p

    Salam kenal,
    Lintang


  11. Intinya, bagi setiap orang (baca: bapak) proses kelahiran anak pertama adalah pengalaman menakjubkan. Hanya saja, di tangan sosiolog atau sastrawan, atau bahkan penyair, pengalaman itu bisa dibagi sehingga orang lain bisa ikut merasakan takjub. Alifa bisa menyajikan pengalaman ini bukan hanya sekadar pengalaman empiris!

  12. pipit Says:

    Waaaa…selamat ya Peb!!gaya cerita’mu emang luar biasa.

    aku sungguh terkesan dg bagian yg ini:
    “…Soalnya saat kepedihannya memuncak, istri saya yang tak pernah berbicara kasar mulai berani membantah ibu mertua saya.”

    aku jadi ingat kejadiannya padaku dulu.aku bersikap sebaliknya,yg biasanya suka membantah ibu’ku,justru pas mo melahirkan aku jadi begitu hormat dan menurut dg segala ucapan beliau.
    karena aku tidak tau,masihkah aku punya kesempatan untuk berbakti setelah bayiku terlahir nanti.
    Alhamdulillah,ternyata aku masih diberi kesempatan untuk ada di tengah2 keluargaku dan berbakti pada orangtua’ku.

    kalo Dian siy,aku yakin dia setenang dirimu.
    hehehe…

    skali lagi selamat yaa…
    mudah2an Nares menjadi seperti harapan ayah&ibu’nya, menjadi perempuan utama yang membanggakan orang tuanya, mengharumkan tanah airnya, dan menjaga keyakinan agamanya.

    jadi oranguta itu tidak mudah,tapi sungguh menyenangkan.

  13. alamendah Says:

    (maaf) mau nitip pesen buat semua penghuni dunia maya: “ikutan vote dan DUKUNG PULAU KOMODO SEBAGAI 7 KEAJAIBAN DUNIA

  14. masmpep Says:

    @ lilis
    trims bu. justru dengan bercerita dari sudut pandang sosiolog mudah-mudahan tidak menjemukan dan menghindari ‘over acting’, he-he-he.

    @ riza cantik
    nangis aja bu. mudah-mudahan kelak anakmu lahir selamat, dan ‘lucu’ seperti ibunya (kok lucunya pake tanda kutip ya?!)

    @ yanu
    sri mulyani? ya. rasanya beliau pantas dijadikan model. yang saya tahu beliau dibesarkan dari keluarga intelektual, seperti saya mengharapkan nilai itu menjadi bagian dari hari-hari keluarga kami.

    darah juang? ‘kalau engkau marah melihat setiap penindasan maka engkau adalah kawanku’….

    @ hasan
    mencoba untuk wajar bung. tapi tetap sosilogis dong, he-he-he.

    @ simoel
    trims mas. tentu saya harus banyak belajar dari anda setelah ini…

    @ fani
    trims juga mbak

    @ sawali tuhusetya
    amien….

    @ alamendah
    hidup memang dirangkai dari sugesti-sugesti mas.

    @ haris
    setiap kita adalah sosiolog ris. diakui atau tidak. seperti halnya setiap kita adalah admnistrator dan komunikan, he-he-he (fisip banget).

    @ lintang
    selamat juga bu. 4 atau 10 kali mengejan yang penting lahir bu. seperti kata iklan: ‘lihat kamu sehat, capek ibu jadi hilang’…

    saat dinyanyikan? nares diam saja. kriyep-kriyep. terus tidur. tapi ia tidur bukan karena saya nyanyikan, karena sesaat sebelumnya ia disusui ibunya. jadi nares tidur karena memang sudah waktunya, ha-ha-ha.

    @ marhaento estu
    cuma sosiolog-kapiran saja kok mas, ha-ha-ha.

    @ pipit
    ya. ya. mbak pipit saya kira lebih baik. ‘bertobat’ di saat melahirkan. ha-ha.

    @ alamendah
    sip mas. aku selalu mendukungmu….

  15. Udo Says:

    Selamat menjadi ayah dan ibunda ya. Selamat menjadi orang tua yang baik. Ini sebuah proses yang memang tidak mungkin dilupakan. Semoga kehadiran ananda menjadi pertanda baik bagi kehidupan di masa mendatang. Amien.

    Anak kami, Udo Z. Karzi & Reni Permatasari, yang kedua juga lahir, 2 Juli 2009 lalu. Putra lagi seperti kakaknya. Kalau yang pertama kami beri nama Muhammad Aidil Affandi Liwa, adiknya bernama Raihan Herza Muzakki Liwa.

    Selamat. Selamat untuk kita semua ya, Mas.

  16. masmpep Says:

    trims udo. muhammad aidil affandi liwa, dan raihan herza muzakki liwa. ‘liwa’. eksotik. saya sebelumnya menakar idiom-idiom’ way kanan’ atau ‘baradatu’ sebagai penggal kata bagi buah hati kami. namun sayang, tak melodius…

  17. cherry Says:

    selamat ya feb, wis jadi bapak baru n juga punya keluarga baru yg lebih lengkap
    smg hepi semuanya
    btw kenapa sik dipajang bwt ilustrasi bukan fotone anakmu? nek perlu pasang potone pak supriyadi wae 🙂
    haiyah…


Tinggalkan Balasan ke Lilis Batalkan balasan